
Baru-baru ini, para intern Jobhun Batch 9 melakukan kedatangan mentoring internal via Zoom dan Amira Budi Mutiara sebagai narasumber. Amira memiliki semangat yang tinggi untuk sharing seputar profesi UX Researcher dan pengalamannya menjalani profesi “seksi” satu ini di Bareksa. Jobhuners, sudah kenal belum nih tentang profesi UX Researcher?
Mengenal UX Researcher
Bagi Jobhuners yang masih bingung apa itu UX Researcher, UX Researcher adalah sosok-sosok yang menjadi “penyambung lidah” antara user (pengguna/konsumen) dan perusahaan. Apa sih fungsi dari pekerjaan satu ini? Tujuannya untuk mengetahui bagaimana experience atau pengalaman yang dialami oleh para pengguna saat menggunakan produk dari suatu perusahaan. UX Researcher itu adalah upaya untuk menciptakan user experience (pengalaman pengguna) yang useful, usable, findable, credible, desirable, accessible, dan valuable. Nah, UX Researcher inilah yang bertugas untuk meneliti dan mewadahi berbagai saran, keluhan sampai kritik pengguna yang berguna untuk pengembangan produk (product development) di masa mendatang. Peran UX Researcher sangat besar loh, Jobhuners, karena menjadi langkah awal untuk menciptakan inovasi bagi produk.
Sebagai seorang UX Researcher, melakukan penelitian berupa survei, wawancara langsung dengan pengguna, baik secara tidak langsung (melalui analisis data) dan langsung (melalui telepon atau online chat) merupakan makanan sehari-hari. Oleh karena itu, UX Researcher biasanya adalah orang-orang yang selalu kepo dan penasaran dengan apa yang menjadi masalah atau kebutuhan orang lain.
“Tapi, kan, kalau mau jadi UX Researcher harus bisa coding. Sementara, aku nggak paham banget coding begituan.”
Sebagai seorang pejuang suara user aka. peneliti, seorang UX Researcher dituntut untuk memiliki skillset yang mampu menjamin “suara konsumen” didengar dan ditanggapi oleh perusahaan. Berdasarkan pengalaman Amira, selain harus kepo atau punya curiosity yang tinggi, seorang UX Researcher juga harus memiliki kemampuan komunikasi (negosiasi dan persuasif) yang baik sehingga saran pengguna dapat direalisasikan, mampu berkolaborasi dengan berbagai tim, fleksibel, dan memiliki sikap mau belajar.
Amira juga meluruskan soal stereotype bahwa seorang UX Researcher harus punya latar belakang pendidikan IT atau memiliki keahlian coding. Amira bahkan berlatar belakang psikologi, loh. Tapi, tetap bisa mengembangkan diri di profesi UX Researcher. Menurutnya, UX Researcher sebenarnya nggak dituntut untuk bisa coding, tapi kalau punya skill itu akan jauh lebih baik.
Menurut Amira, bekerja sebagai UX Researcher itu adalah tentang give and take. Sebuah bisnis yang ideal seharusnya nggak langsung memikirkan profit semata, tetapi lebih dulu memikirkan apa yang bisa kita beri pada pengguna. Nah, untuk bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh pengguna, tentunya sebagai UX Researcher harus memahami apa yang menjadi kebutuhan pengguna (user needs) agar lebih memahami produk yang kita miliki. Dengan memenuhi kebutuhan yang tepat bagi pengguna, kepuasan mereka terhadap produk juga akan meningkat dan hal ini akan berdampak pada loyalitas dan bisnis.
Amira punya beberapa saran untuk Jobhuners yang tertarik untuk memulai karir sebagai UX Researcher, nih. Beberapa diantaranya adalah melalui kelas-kelas UX Researcher yang banyak diadakan secara online dan mengikuti program magang yang bisa menjadi salah satu cara Jobhuners untuk mendalami karier sebagai UX Researcher.
Nah, bagi Jobhuners yang tertarik mempelajari UX Researcher atau bahkan ingin switch karier ke profesi ini, bisa banget loh! Kamu bisa memulainya dengan mencoba mendaftar di kelas di Jobhun Academy: UX Researcher. Di kelas ini, kamu akan didampingi mentor yang ahli di bidangnya, mulai dari nggak tahu apa-apa sambil bisa punya portfolio untuk menunjang kerja! Daftar sekarang di https://jobhun.id/product/uxr/ yuk!